Jakarta, BSSN.go.id – Berbagai sektor di Indonesia terhubung melalui internet yang terbagi dalam 307 ISP, 41 NAP dan 14 Indonesia Internet Exchange. Selama pandemi Covid-19 terjadi kenaikan traffic internet domestik sebesar 40%. Kenaikan traffic internet yang dimulai semenjak adanya imbauan melakukan aktivitas dari rumah tersebut semakin membuka kemungkinan ancaman siber. Hal tersebut diutarakan oleh Kepala BSSN, Hinsa siburian, dari ruang kerja di kantor BSSN Jakarta Selatan dihadapan 63 peserta webinar Asosiasi SMA Jakarta Bersatu dengan tema “Waspada Post Truth dan Hoax” yang diselenggarkan oleh Alumni SMA Jakarta Bersatu (ASJB), Rabu (22/10/2020).
“Statistik serangan siber yang terpantau oleh BSSN meningkat, begitupun kemunculan hoaks selama pandemi juga meningkat cukup drastis. Kebohongan dan kesalahan informasi yang dikenal dengan hoaks menyebabkan keresahan dan kepanikan masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, pandemi Covid-19 melahirkan istilah baru Disinfodemi yang mewakili fenomena disinformasi terkait dengan pandemi Covid-19 yang secara langsung berdampak pada kehidupan banyak orang,” ujar Hinsa mengawali paparannya.
Hinsa kemudian mengaitkan fenomena tersebut dengan istilah Post-Truth yang menjadi “Word of The Year 2016”.
“Fenomena kebohongan dan kesalahan informasi secara massif juga terkait dengan istilah post-truth yang terkait erat dengan media sosial yang kini memiliki kekuatan media massa. Di titik ini mereka sudah beralih fungsi dari penyampai kebenaran menjadi penyebar kebohongan,” Imbuh Hinsa.
Hinsa kemudian memberikan langkah menangkal hoaks, dimulai dari mendisiplinkan diri melakukan verifikasi, membandingkan informasi yang diterima dengan pendapat ahli, akademisi atau lembaga pemerintahan dan yang terakhir Self-Rules yaitu mengidentifikasi gangguan kejernihan informasi dengan mengenali ciri-ciri informasi.
Direktur Proteksi Ekonomi Digital BSSN, Anton Setiyawan, menyatakan dari sisi teknologi alur pesebaran dan asal hoaks bisa dilacak dan sudah ada aturan hukum yang mengaturnya.
“Ada tiga klasifikasi gangguan informasi diantaranya misinformasi, dis-informasi dan mal-informasi. Misinformasi adalah informasi yang salah yang disebarkan karena dipercayai sebagai informasi yang benar. Hal ini banyak terjadi di masyarakat, cara mengatasinya dengan melakukan pendekatan literasi pemahaman. Dis-informasi yaitu informasi yang salah yang kemudian sengaja disebarkan untuk menciptakan kondisi tertentu. Sedangkan mal-informasi yaitu informasi yang benar kemudian diekspose untuk merugikan pihak tertentu,” jelas Anton.
“Dis-Informasi dan mal-Informasi inilah yang dilakukan tindakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo dengan men-takedown akun yang menyebarkan informasi salah tersebut. Secara hukum kemudian akan ditindaklanjuti oleh teman-teman di Polri,” ungkap Anton.
Direktur Pengendalian Informasi, Investigasi dan Forensik Digital BSSN, Bondan Widiawan, yang juga menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut menambahkan informasi tentang serangan siber.
“Serangan siber kini sudah menjadi ancaman faktual bukan lagi risiko atau potensi semata. Faktanya serangan siber terjadi setiap saat. Yang harus kita lakukan adalah melengkapi diri dengan kemampuan penanganan insiden serangan siber, mulai dari tahap pre-insiden sehingga sebelum terjadi insiden siber terjadi kita sudah melakukan antisipasi berupa tata kelola keamanan teknologi/sistem informasi yang baik. dan bila insiden terjadi ada dua hal yang harus kita lakukan yaitu investigasi dan mitigasi,” kata Bondan.
“Mitigasi dilakukan agar sistem kembali berjalan sedangkan investigasi dilakukan agar kita bisa melihat penyebab gangguan/serangan itu seperti apa melalui Forensik Digital,” tutup Bondan.
Bagian Komunikasi Publik, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat – BSSN