Jakarta, BSSN.go.id– Pesatnya penggunaan Internet Of Thingsdan Revolusi Industri 4.0 di ruang siber saat ini telah menjadi Theater of Waryang besar pengaruhnya bagi masa depan pertumbuhan ekonomi dunia. Hal itu memicu negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Uni Eropa dan Tiongkok berlomba-lomba menggunakan ruang siber untuk memperluas pengaruhnya ke negara-negara lain, khususnya di Asia Pasifik yang notabene menjadi pasar besar ekonomi dunia.
Persaingan tersebut tak pelak lagi bakal mendorong terjadinya perang dagang secara langsung terhadap Indonesia. “Untuk itulah kami mengundang para Duta Besar Perwakilan Republik Indonesia yang belum lama dilantik oleh Pak Presiden, dengan harapan agar menjadi mata dan telinga kita (Indonesia, red) bagaimana negara-negara akreditasi bersikap dan mengambil langkah dalam menghadapi isu ruang siber,” ujar Djoko Setiadi, KepalaBSSNsaat menggelar pertemuan Duta Besar Perwakilan Republik Indonesia di Jakarta (17/1).
Hal itu dilakukan BSSN sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menjaga kedaulatan siber, serta guna melaksanakan amanat yang termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2017, tugas BSSN dalam melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber, serta menjadi Focal PointIndonesia dalam urusan kebijakan dan teknis bidang keamanan siber di pemerintahan, infrastruktur informasi kritikal nasional dan sektor ekonomi digital.
Pada pertemuan itu Djoko juga menyampaikan sejak tahun 2013 telah dibentuk Forum UN-GGE, organisasi tata kelola urusan siber global yang dibentuk PBB. “Dan kita sudah menjadi anggotanya dari tahun 2017. Saat itu Forum UN-GGE menitikberatkan pada langkah tindak negara menanggapi adanya serangan siber sehingga negara-negara yang tergabung dalam NATO mengusulkan agar serangan siber dapat disetarakan dengan serangan konvensional militer. Namun usulan itu tidak menemui kesepakatan, akhirnya Forum UN-GGE terbelah menjadi dua blok besar,” tuturnya.
Tahun ini negara-negara anggota kembali sepakat untuk membahas Global Issues Of Norms And Behavior On Cyberspace. Amerika Serikat dan Rusia sudah menyampaikan rencana resolusinya untuk diperdebatkan pada Rapat Umum UN-GGE 2019. Secara umum Amerika Serikat dengan aliansinya menginginkan pengungkapan Confidence Building Measure (CBM)guna mengukur dan mengetahui kapasitas siber tiap negara. Sedangkan aliansi Rusia menginginkan adanya kedaulatan setiap negara di ruang siber.
Perbedaan pandangan itu pun berlanjut pada pengaturan tata kelola ruang siber. Dimana saat ini pengelolaan aktivitas siber global berada pada konteks kebijakan penamaan domain yang dikontrol Internet Coorporation for Assigned Names and Numbers (ICANN)dan Internet Society (ISOC)di konteks standar teknologi, dua organisasi yang mengatur tata kelola dengan motif utama pertumbuhan ekonomi global yang ditentukan dari transaksi barang dan jasa. Sedangkan UN-GGE yang dipelopori Rusia dan Tiongkok menginginkan agar pengelolaan ruang siber global dinaungi Forum U-GGE PBB.
Konflik antara dua kubu itu diperkirakan akan menjadi arus utama polarisasi di ruang siber. “Indonesia yang berazaskan politik luar negeri bebas aktif dinilai sebagai Swing State, dimana keberpihakan Indonesia lebih menekankan pada kerjasama yang berimbang, bermanfaat dan saling menguntungkan,” tegasnya.
Pertemuan itu dihadiri oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk sejumlah negara antara lain; Abdul Kadir Jaelani (Kanada), Cheppy T. Wartono (Meksiko), Dewa Made Juniarta Sastrawan (Zimbabwe), Hajriyanto Y. Thohari (Libanon), Julang Pujianto (Suriname), Siti Nugraha Maulidiah (Polandia), Sunaryo Kartadinata (Uzbekistan), dan Wajid Fauzi (Republik Arab Suriah). Dalam pertemuan dimaksud juga dihadiri oleh pejabat dari lingkungan BSSN dan Kemlu. (RM)