Jakarta (9/6). Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Sulistyo menyatakan perpindahan manusia atau barang keluar masuk perbatasan suatu ruang konvensional bisa diawasi namun lalu lintas informasi di ruang siber belum ada mekanisme pengawasan dan pembatasannya. Batas di ruang siber sebenarnya ada dua yaitu internet protocol (IP) number dan name domain kata Sulistyo dalam webinar bertema Intelijen di Era Digital di Jakarta, Selasa (9/6).
Sulistyo menyatakan BSSN merupakan instansi yang bertugas mengonsolidasikan semua sumber daya siber yang ada di Indonesia agar efektif dan efisien. Dalam ruang konvensional maupun digital praktik intelijen itu sama-sama berlangsung. Praktik intelijen di ruang siber perlu diwaspadai, pengumpulan informasi sebaiknya digunakan untuk kemanfaatan negara bukan dipakai untuk kepentingan sekelompok orang atau korporasi untuk menangguk keuntungan.
Sulistyo menambahkan, currency bisnis kita sekarang adalah informasi. Informasi bisa didapatkan dengan berbagai cara, bisa dicari, dicuri maupun diberikan secara sukarela. “Kita (masyarakat Indonesia) ini memiliki kecenderungan terlalu gampang mengumbar informasi tentang diri kita, tentang keluarga kita, tentang kelompok kita di media sosial. Jadi, gampang banget kalau mau memetakan (profiling) diri orang,” kata Sulistyo. Edukasi terhadap apa-apa yang boleh dibagikan di ruang digital, lanjut dia, menjadi poin penting dari keamanan siber.
Dalam surveillance capitalism, pengumpulan informasi secara massal bisa dilakukan tanpa kita menyadarinya melalui aplikasi menarik yang ditawarkan sehingga diakses oleh masyarakat tanpa peduli pada term of reference-nya jelas Sulistyo. Informasi yang dihimpun dari mekanisme seperti itu biasa digunakan dalam bisnis intelijen sebagai dasar prediksi untuk memberikan saran mempengaruhi keputusan suatu kalangan tertentu yang sudah ditarget untuk membeli suatu produk tertentu. Artinya informasi pribadi secara massal dalam suatu wilayah spesifik jika dikumpulkan bisa digunakan untuk mendapatkan keuntungan secara komersial. “Dibutuhkan penguatan dari sisi legislasi dan regulasi sehingga negara mampu melindungi data pribadi yang dikelola korporasi besar seperti dalam kasus tersebut,” jelas Sulis.
Bagian Komunikasi Publik, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat – BSSN